Muhasabah : Santri, dan stigmanya…

Alhamdulillah, seorang lagi santri “Khozinaturrohmah” yang mengikuti pendidikan di sekolah formal berhasil menyelesaikan studinya di perguruan tinggi umum dalam jurusan Manajemen Informatika dan Komputer. Mudah-mudahan hal ini senantiasa menjadi pendorong untuk kepentingan yang lebih luas. Mendatangkan nilai tambah, berkah ilmu dan kemanfatannya untuk diri sendiri dan lingkungannya.

Sebagai sesama santri dan ikut menjadi mentornya, tentu sangat bersuka cita dan gembira atas keberhasilan ini, dan patut dijadikan contoh akan luasnya wacana peluang santri. Sedikitnya  ini sebagai akuntabilitas kepada orang tua santri yang selama ini menaruh kepercayaan terhadap prosesi belajar di Pondok Pesantren “Khozinaturrohmah”.

Menjadi ‘santri’, atau belajar ‘ala Pesantren salafiyah untuk menunjukkan rasa cinta akan ke-Islaman, kadang dipandang remeh atau sebelah mata, karena dianggap tidak prestisius atau tidak menjanjikan masa depan. Padahal tantangan zaman senantiasa sangat membutuhkan generasi yang mampu menguasai ilmu2 ke-Islaman. Dianggap mundur karena ikut menjadi kaum sarungan seperti ‘anak dikhitan’ atau penyakitan. Padahal cara ini hanyalah sebagai salah satu alat proteksi saja. Mana mungkin seorang santri yang mempunyai tugas utama belajar, akan keluyuran dengan bersarung. Tidak sedikit pula konotasi lainnya, bahwa hanya anak2 yang ‘nakal’ lah yang belajar ‘ala Pesantren itu. Orang tua dengan sangat terpaksa memasukkan seseorang anaknya ke Pesantren sebagai ‘penyembuhan’. Padahal belajar salafiyah ‘ala pesantren sangat membutuhkan ‘otak cerdas’, sehat dan dinamis ; ibarat bibit unggul tidak penyakitan. Prestisius anak2 potensial seperti ini tenggelam akibat infrastruktur dan ‘bad governance goverment’.

Atau ada juga yang menganggap belajar ‘ala Pesantren hanya untuk anak2 miskin yang tidak mampu sekolah, karena massivenya kebersahajaan, ketiadaan fasilitas, kumuh, kotor serta jauh dari kesadaran hygienis, dan kurang beruntung. Padahal pesantren ini merupakan voluntir, empaty atau ‘action item’ nyata agar mereka yang ‘tidak beruntung’ itu, tidak terlantarkan. Sama2 berkesempatan dapat meraih harapan masa depan yang baik sesuai dengan kadar kemampuan yang ada.

Konon pula, belajar ‘ala pesantren penuh dengan penderitaan. Segala sesuatu kebutuhan harus dikerjakan sendiri. Jauh dengan orang tua tercinta atau sanak saudara2 yang kerap bercengkerama berbagi kasih penuh kehangatan. Tidur hanya beralaskan sehelai tikar, berteman dingin dan dengan dengingan nyamuk. Makan minum serba kekurangan dan dengan minim gizi. Padahal dengan cara seperti ini terlatih tegar, tidak kolokan. Berangkat tinggal belajar di pesantren bukan untuk pindah tidur atau makan, tetapi bersemangat baja berjuang untuk ‘tholabul ilmi’, dengan konsekuensi mengurangi makan dan tidur. Atau Bahkan kini ada anggapan lain, pesantren harus diwaspadai karena menjadi sarang teroris. Ini terlalu, karena kekerasan bukanlah budaya seluruh ummat Islam.

Semua asumsi kurang bagus di atas memang akan selalu menjadi  stigma, dan mesti menjadi perhatian untuk diatasi. Anggapan2 minor yang timbul, sejatinya muncul dari ketidak tahuan, guyon, su-udzon, sentiment atau bisa saja menjadi  ‘caracter santri assation’. Lalu, bagaimanakah sebenarnya. Betulkah seperti itu kondisinya. Jawabannya susah memang jika hanya dengan retorika saja.

Sebenarnya pengalaman mengikuti belajar sebagai santri di Pesantren sangat menyenangkan. Penuh kebersamaan, solidaritas dan kekeluargaan. Ada tantangan, membuka kesempatan. Mempunyai nuansa ilahiyah. Memuaskan kebutuhan intelektual dan spiritual, serta didikan diri menjadi mandiri mengatasi ketergantungan dan keterbatasan. Yang terpenting memiliki ilmu yang sangat berguna untuk bekal kehidupan.

Secara khusnudzon, anggapan2 satiris yang ada itu bisa saja menjadi masukkan positif untuk perbaikan. Walaupun sebenarnya banyak sudah terbantahkan keminorannya. Bahwa tidak sedikit bukti empirik, fakta-fakta ilmiah atau hasil riset intelektual yang telah menjawabnya. Membuktikan jati diri pesantren tersebut secara hakiki. Termasuk prosesi belajar di dalamnya serta output yang dihasilkannya, genuine. Contoh kecil disini, lihatlah itu tumpukan2 kitab kuning. Bukankah itu sangat ilmiyah. Tulisan spektakuler yang dihasilkan oleh kalangan yang berlatar belakang santri.

Yang jelas memang, untuk meraih sesuatu, cita-cita misalnya, memang perlu berkeringat. Perjuangan keras, pengorbanan material-spiritual, fisik-mental, dan tak jarang deraian air mata. Apalagi untuk sesuatu yang besar ; kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Atau memang harus diakui, seandainya yang dituju hanya pemenuhan kebutuhan duniawiyah, hedonis, materialistis atau sekular, maka masuk mengikuti pendidikan ‘ala pesantren adalah akan jadi kesalahan fatal dan kontradiktif. Tentu bukan begini kan ;).

Selamat tahun baru 1 Muharram 1431 Hijriyah, ayo bangkit dari keterpurukan. Santri bertransformasi dari stigmanya. Memperbaiki yang belum baik, mempertahankan yang sudah baik. Muhasabah menjadi suatu keniscayaan untuk senantiasa istiqoomah dalam tafaqquh fiddien. Semoga**. (Iqbal1).

2 Responses to Muhasabah : Santri, dan stigmanya…

  1. dir88gun berkata:

    Assalamu alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Wahai Saudaraku di seluruh penjuru dunia maya,

    Akhirnya tahun baru telah tiba…
    Tahun penentuan, apakah kita akan tetap jatuh terpuruk semakin jauh ke dalam kubangan kehinaan,
    Ataukah kita akan bangkit berhijrah menuju ke arah datangnya cahaya kemenangan di depan.

    ——————-
    (ma’af ada edit sedikit)

  2. iqbal1 berkata:

    Depag Kaji Standarisasi Pendidikan Pesantren :
    (http://id.news.yahoo.com/dtik/20100124/tpl-depag-kaji-standarisasi-pendidikan-p-b28636a.html)

    Departemen Agama (Depag) berencana mengkaji standarisasi pendidikan pesantren. Sebab, selama ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan sistem pendidikan berbasis agama itu.

    “Ini mencari solusi agar lulusan pesantren, terutama salafiyah, bisa mendapatkan pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini, Kraton, Pasuruan, Jawa Timur. Demikian keterangan pers dari Humas Departemen Agama, Sabtu (24/1/2010).

    SDA menyampaikan hal itu menanggapi aspirasi alim-ulama, pengelola, dan pengasuh pesantren salafiyah yang sering terkendala masalah administrasi pendidikan, seperti ketiadaan ijazah bagi para alumni.

    “Sistem pendidikan pesantren, terutama salafiyah, memiliki keunggulan dalam penguasaan pengetahuan agama yang spesfik semisal tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri keluaran pesantren unggul dalam peran-peran kemasyarakatan (social building). Karena itu, sayang kalau mereka belum mendapat pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar SDA.

    SDA menjelaskan, kini jumlah pesantren terus meningkat, bahkan mencapai angka 23.000 unit di seluruh penjuru Tanah Air.

    Sementara itu, menurut KH Abdul Mujib Imron mewakili para pengasuh pesantren salafiyah, pihaknya sering menjadi tempat mengadu para santri alumni. “Upaya mereka bertahun-tahun menimba ilmu seakan-akan menjadi sia-sia hanya karena beberapa lembar kertas. Karena tak punya ijazah sebagai pengakuan pemerintah, mereka sulit mendapat akses ke dunia kerja,” katanya.

    Para alumnus ponpes ini pun kesulitan saat memasuki dunia politik, untuk menjadi kepala desa atau lurah saja tidak bisa. Apalagi mencalonkan diri menjadi legislator atau kepala daerah. “Padahal secara kualitas, alumni kami tak kalah bersaing dengan alumni lembaga pendidikan umum,” ujarnya.

    Menjawab aspirasi tersebut, SDA mengatakan, Depag sedang mengupayakan standarisasi pendidikan pesantren. Dia menuturkan, sejauh ini Depag sudah mulai memetakan persoalan yang sudah berlangsung sejak lama itu.

    Di tempat yang sama, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag Chairul Fuad Yusuf menyebutkan, berencana menyiapkan tim untuk mengkaji standarisasi itu.

    “Kita mulai siapkan semacam tim. Mereka akan segera bekerja dan melakukan kajian mendalam. Mudah-mudahan tahun depan (2011) atau paling lambat 2012 sudah bisa diterapkan,” ucapnya.

    Dalam kunjungan hari Sabtu (23/1/2010) tersebut, Menag pun membuka secara resmi Halaqah Alim Ulama bertema ‘Revitalisasi Pendidikan Pesantren Dalam Konteks Pembangunan Bangsa’. :>

Tinggalkan komentar