KH Idham Chalid, Kiai Negarawan dari NU
Selasa, 13 Juli 2010 08:19 ; Jakarta, NU Online
KH Idham Cholid, mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Minggu (11/7) sekitar pukul 08.00 WIB, berpulang kepada Sang Pencipta di kediamannya, kawasan lembaga pendidikan Darrul Maarif, Cipete, Jakarta Selatan. Tokoh besar yang beberapa kali menduduki jabatan tinggi kenegaraan dan pemerintahan di era Orde Lama dan Orde Baru itu menderita sakit selama sepuluh tahun terakhir.
Saiful Hadi, salah satu putra almarhum, menuturkan, Kiai Idham terkena serangan jantung dahsyat pada 1999 yang menyebabkannya lumpuh total. “Pada serangan jantung itu terjadi, Bapak terkena lumpuh total dan tidak bisa bicara,” kata Saiful yang juga Direktur Pemberitaan Perum LKBN ANTARA itu.
Semasa hidupnya, Kiai Idham pernah menjadi Presiden Partai Nahdlatul Ulama, sekaligus salah seorang “bapak pendiri” Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan hasil fusi sejumlah partai Islam. Menteri Agama Suryadharma Ali, yang juga Ketua Umum PPP, menyatakan, dengan wafatnya Kiai Idham, bukan hanya PPP yang kehilangan, tetapi Bangsa Indonesia secara keseluruhan. “Beliau tokoh panutan. Bukan hanya keluarga besar PPP yang kehilangan, tapi seluruh Bangsa Indonesia,” katanya.
Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pun menyatakan hal senada. Menurutnya, Indonesia kehilangan sosok kiai negarawan dengan meninggalnya Kiai Idham. “Semoga Allah menerima Pak Idham dengan husnul khotimah,” kata Hasyim yang tengah berada di Kairo dalam pesan singkatnya kepada ANTARA di Jakarta, Minggu. Dalam suatu kesempatan, Hasyim pernah mengungkapkan bahwa Kiai Idham merupakan sosok yang dikaguminya karena berhasil memimpin NU selama 28 tahun tanpa gejolak yang berarti.
“Ini sangat sulit. Saya memimpin NU delapan tahun saja ruwetnya bukan main,” kata Hasyim.
Menurut Hasyim, memimpin NU bukan hal yang mudah karena NU tumbuh dari kultur. Struktur NU hingga saat ini belum pernah melebihi kultur. Dalam pentas politik, Kiai Idham juga dinilai berhasil membawa NU keluar dari masa-masa pelik, bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda dengan dinamika politik yang luar biasa. Menurut Hasyim, menyelamatkan jamaah NU yang sedemikian banyak tentu memerlukan kepribadian arif dan tangguh.
“Orang yang mengerti Pak Idham menyatakan beliau orang yang istikomah dalam berbagai situasi, tetapi orang yang tidak cocok pasti mengatakan oportunis karena dari masa ke masa selalu mendapatkan tempat,” katanya.
Kalangan pengamat politik Indonesia banyak mencatat bahwa Idham merupakan salah seorang dari sedikit politisi yang mampu bertahan dalam “segala cuaca”. Di masa Orde Lama, di usia 34 tahun, Kiai Idham menjabat Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Di masa Orde Baru, ia dipercaya Presiden Soeharto menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967-1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970-1971), dan pernah pula menjabat Ketua MPR/DPR (1971-1977), serta Ketua DPA (1977-1983). Di dalam lingkup kepartaian, khususnya PPP, tak sedikit politisi yang sukses berkarir berkat bimbingan Kiai Idham, salah satunya adalah Hamzah Haz yang selain pernah memimpin PPP juga menjabat Wakil Presiden di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Patuh kiai
Di lingkungan NU, putra kelahiran Setui, Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922 ini pun dikenal sebagai santri yang tawaduk atau tunduk dan patuh pada kiai. Sikapnya yang demikian itulah yang memikat para kiai NU, yang mayoritas dari Jawa, sehingga menempatkannya sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan KH Abdul Wahid Hasyim, mengalahkan tokoh muda NU lainnya yang saat itu memiliki reputasi handal, KH Subhan ZE.
Dalam salah satu edisi Harian Duta Masyarakat, mantan Ketua NU Jawa Timur KH Ali Maschan Moesa menuturkan, ketika terjadi friksi tajam di puncak piramida NU antara KH Idham Cholid dengan Subhan ZE, digelarlah suatu `pengadilan ulama`.Dalam forum itu, Subhan menggunakan argumentasi organisasi modern yang “ndakik-ndakik” (melambung tinggi), sementara Idham Cholid menggunakan pendekatan santri pesantren yang pasrah bongkokan sebagai indikator ketertundukan, kepatuhan, dan penghormatan kepada para kiai.
“Idham Cholid lebih menyatu dengan kultur NU, layaknya garam dengan asinnya. Akhirnya para ulama memenangkan Idham,” kata Ali Maschan seperti dikutip Duta Masyarakat. (ant/mad)
Hasyim Muzadi : Idham Chalid, Arif dan Berpandangan Tajam.
Kairo, NU Online
Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi yang sedang berada di Kairo Mesir merasa kehilangan atas wafatnya Kiai Idham. Ia menilai pendahulunya di PBNU itu sebagai sosok yang luar biasa, bukan saja karena sejumlah jabatan tinggi yang pernah disandangnya, namun juga kearifan dan ketajaman pandangannya.
Sebagai tokoh NU yang berproses dari bawah, Hasyim mengaku punya banyak kenangan bersama Kiai Idham, terutama saat ia masih menjabat sebagai Ketua PMII Cabang Malang dan Kiai Idham telah menjadi Ketua Umum PBNU. “Ketika itu, ingat saya tahun 1967, saya datang ke Jakarta sebagai Ketua PMII Cabang Malang sekaligus Ketua KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) konsulat Malang. Saya niat memprotes Pak Idham kenapa tidak mendukung gerakan Pak Subhan ZE. yang menuntut demokratisasi Indonesia di awal Orde Baru,” kata Hasyim.
Menurut Hasyim, saat itu PMII di bawah kepemimpinan Zamroni sangat fanatik kepada Subhan ZE, tokoh muda NU yang memimpin gerakan pro demokrasi, termasuk menentang menghadapi demokrasi terpimpin pada era Presiden Soekarno. Ketika diterima Kiai Idham yang saat itu merupakan Ketua Umum PBNU, kata Hasyim, dia pun menumpahkan semua “unek-unek” yang ada di kepalanya.
Menanggapi protes yang dilontarkannya, kata Hasyim, Kiai Idham dengan tenang menjawab dan memberikan pengertian bahwa dalam bertindak tidak boleh “grusa-grusu” atau terburu-buru.
“Kita baru saja selesaikan komunis, sisanya masih panjang. Jangan minta demokrasi dalam saat yang sama, nanti demokrasi ada waktunya sendiri,” kata Hasyim menirukan jawaban Kiai Idham.
Mengutip pendapat Imam Ibnu Atho`ilah, lanjut Hasyim, Kiai Idham menuturkan bahwa Allah menyelamatkan satu per satu, tidak sekaligus.
“Biarkan Pak Harto (Soeharto) berkuasa. Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya,” kata Kiai Idham seperti ditirukan Hasyim.
Kiai Idham, lanjut Hasyim, sama sekali tidak merisaukan keadaan waktu itu, namun justru lebih mengkhawatirkan keadaan yang mungkin terjadi beberapa puluh tahun sesudahnya.
“Yang saya khawatirkan justru puluhan tahun yang akan datang. Kita akan menghadapi kemunafikan, dan saya takut NU tidak mampu menghadapinya karena racun terasa madu,” kata Hasyim mengutip pernyataan Kiai Idham.
Kiai Idham, lanjut Hasyim, juga menghargai sikap anak muda NU yang mendukung gagasan Subhan, yang notabene berseberangan dengan pandangan Kiai Idham sendiri. “Saya senang kau menghormati Pak Subhan. Dia pejuang,” kata Hasyim, mengulang pernyataan Kiai Idham kepadanya. Dari pertemuan itu, kata Hasyim, dia menyadari bahwa pandangan kedua tokoh NU itu, Kiai Idham dan Subhan Z.E., sama-sama benar.
“Keluar dari Pak Idham saya langsung lemas karena konsep Pak Subhan memang bagus dan progresif, tetapi Pak Idham juga benar. Ibarat Nabi Musa dan Nabi Hidr, sama benarnya antara syariat dan hakikat,” pungkasnya. (mad)