Saatnya Bangkit Bangun ~Industri Dirgantara Nasional~

Desember 6, 2012

Menetap di benua maritim seperti Indonesia, menguasai teknologi dirgantara dinilai bisa meningkatkan persatuan dan kesatuan. Terlebih lagi, mantan Presiden Indonesia Soekarno menggaris bawahi pentingnya penguasaan teknologi dirgantara dengan memasukkan Komando Pelaksana Industri Penerbangan pada 1960-an dalam kabinet pemerintahannya.

Hal itu diungkapkan perintis industri penerbangan modern Indonesia sekaligus mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie), saat menyampaikan orasi dalam Peringatan 50 Tahun Pendidikan Teknik Penerbangan Institur Teknologi Bandung di Jakarta Convention Center, Sabtu (1/112/2012). Menurutnya, Indonesia harus bisa memiliki wawasan untuk produk dirgantara dan maritim.

Untuk terus bisa mengimplementasikan visi pengembangan kedirgantaraan Bung Karno itu, Habibie mengungkapkan diperlukannya penerus untuk memajukan teknologi dan industri penerbangan Indonesia. “Saya berkewajiban agar ada estafet, supaya tidak dihentikan oleh kekuatan luar negeri,” tutur Habibie.

Lebih lanjut, diungkapkan Habibie, Indonesia memiliki tantangan untuk mengembangkan teknologi penerbangan. Sebagai benua maritim yang terdiri dari 80 persen perairan, mengembangkan teknologi penerbangan tentu tidak mudah di Indonesia mengingat luasnya Tanah Air.

“Indonesia itu besar dan benua maritim yang 80 persennya air, tentu dari sabang sampai marauke tidak bisa menggunakan kereta api, terlebih lagi jika datang dari negara lain,” jelasnya.

Industi penerbangan bukan hal yang awam bagi Indonesia, terbukti  saat peluncuran N-250 yaitu pesawat regional komuter turboprop rancangan asli IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) yang diluncurkan pada 1995 menjadi bintang pameran pada saat Indonesian Air Show 1996 di Cengkareng.

“Dibanding negara lain kita sudah mulai sejak tahun 1995 (industri penerbangan), 17 tahun lalu. Kini, kita harus bangkit kembali karena tidak ada “makan siang” secara cuma-cuma, jadi kita harus berkorban dan berjuang,” pungkasnya. (*** Berbagai sumber)


Cakrawala : “Mr. Crack” Si Jenius Ahli Retakan

November 7, 2011

Oleh : Muhammad Istiqlal P.

Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936. Putra keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.

Sebelumnya belajar teknik mesin di Institut Teknologi Bandung tahun 1954. Pada 1955-1965 ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingineur pada 1960 dan gelar doktor ingineur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.

Sebutan “Manusia multi-dimensional” muncul setelah Bacharuddin Jusuf Habibie meraih medali penghargaan “Theodore van Karman”, dari International Council of The Aeronautical Sciences (ICAS) saat kongres ke-18, di Beijing, Cina, 24 September 1992. Anugerah bergengsi tingkat internasional tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.

Di khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli dirgantara mengenal apa yang disebut Teori Habibie, Faktor Habibie, Fungsi Habibie. Fungsi, hukum, atau faktor ini berhubungan dengan perambatan retak pada logam. Sebuah metode yang belum pernah ada sebelumnya yang memprediksi secara detil perambatan retak, dengan menghitung tegangan-tegangan sisanya. Habibie juga dikenal sebagai “Mr. Crack” karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang.

Dalam Buku Elementary Engineering Fracture Mechanics, David Broek menulis: Habibie mengusulkan suatu prosedur yang mampu memprediksi dengan baik hasil simulasi terbang sebuah pesawat oleh Schijve. Basis dari bidang yang spesifik ini kemudian dikembangkan untuk memecahkan masalah-masalah struktur (salah satunya) pesawat terbang. Beberapa metode integrasi tersedia, di mana efek retardation diperhitungkan dengan cara yang semi empiris. Metode Habibie ini mirip dengan metode yang diusulkan Wheeler. Meskipun sepertinya, metode Wheeler lebih baik dalam memformulasikan zona plastis di ujung retak.

Ketika teori kelelahan dikembangkan tahun 1950-an, Habibie mengeluarkan juga metodenya tahun 1971. Salah satu metodenya diajarkan di Massachusetts Institute of Technology untuk memprediksi perambatan retak. Sebelum titik crack bisa dideteksi secara dini, diantisipasi terlebih dahulu kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF). Retak yang terjadi di pesawat terbang bisa saja diakibatkan oleh jalan di landasan, take off, menanjak, cruise, menurun, landing, dan parkir.

Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10 persen dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25 persen setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang.

Pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Dengan demikian, secara ekonomi kinerja pesawat bisa ditingkatkan. Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat, sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatigue menjadi turun.

Kejeniusan dan prestasi inilah yang mengantarkan Habibie diakui lembaga internasional. Di antaranya, Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l’Air et de l’Espace (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sementara itu penghargaan bergensi yang pernah diraih Habibie di antaranya, Edward Warner Award dan von Karman Award yang hampir setara dengan Hadiah Nobel. Di dalam negeri, Habibie mendapat penghargaan tertinggi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana.

Kejeniusan mantan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini semakin tampak brilian ketika berhasil meraih gelar doctor ingenieur dengan predikat suma cum laude pada 1965. Rata-rata nilai mata kuliah Habibie 10. Prestasi ini mengantarkan Habibie menjadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger Flugzeugbau (HFB). Tak hanya itu, dalam disiplin ekonomi makro pernah dikenal istilah Habibienomics. Semacam pemahaman yang menegaskan bagaimana gagasan Habibie tentang pemberian nilai tambah ekonomi tinggi di setiap produksi barang dan jasa melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Disamping dikenal sebagai seorang ilmuwan, BJ. Habibie adalah Presiden Republik Indonesia Ke-3 dengan masa jabatan mulai dari 21 Mei 1998 sampai dengan 20 Oktober 1999. *** (Telah Muat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 27-10-2011, rubrik Cakrawala. Penulis, juga khodim ponpes khozanaaturrohmah).


Opini : Jati Diri Indonesia Modern

Oktober 3, 2011

Memahami Asal-Usul Jati Diri Masyarakat Indonesia Modern : Perspektif Sejarah

Dalam bukunya tentang Imagined Communities, Ben Anderson (seorang Indonesianist terkenal dari Amerika Serikat) menyatakan bahwa gagasan tentang nasionalisme – yang merupakan cikal-bakal dari lahirnya nation-state itu – sebagai menti-fact (fakta mental) hasil kreasi golongan intelegensia yang berkenalan dengan pendidikan dan peradaban Barat serta disosialisasikan melalui media massa dan media lain yang punya daya jangkau luas.

Melalui media print capitalism ini, demikian Anderson, bukan saja sebuah komunitas politik imaginer menjadi dambaan, harapan, dan cita-cita bersama, tetapi juga berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikannya ke dalam dunia nyata – yang apabila sudah terwujud bahkan berusaha untuk dipertahan secara mati-matian.

Masalahnya adalah bahwa kreasi imaginer sekalipun, jelas tidak hadir dalam konteks yang hampa budaya. Dengan kata lain, ia lahir tetap melekat dalam konteks sosial dan budaya yang mengitarinya. Berbicara tentang asal-usul dan perkembangan masyarakat Indonesia modern, dengan demikian, juga tidak lepas dari akar-akar budaya asal. Kemana referensi imajiner golongan intelegensia Indonesia dalam mengembangkan citra masyarakat modernnya?.

Di sinilah pentingnya kita mendiskusikan dan menyegarkan kembali asal-usul dan perkembangan masyarakat Indonesia modern. Sebagaimana kita maklum bahwa corak masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh masa lalunya, terutama yang berkenaan dengan gelombang pengaruh peradaban dari luar. Hasil-hasil studi dari para Indolog Barat (khususnya Belanda) tentang kejayaan dan kegemilangan masa lalu Indonesia, banyak menyita minat dan perhatian golongan intelegensia yang sedang gandrung merumuskan identitas dan jatidiri ke-Indonesiaan dalam konteks zamannya yang suram karena adanya dominasi dan hegemoni sistem kolonial. Soekarno, dalam hal ini, dengan simpel merumuskan citra masyarakat Indonesia itu dengan “masa lalu yang gilang-gemilang, masa sekarang yang suram, dan masa mendatang yang penuh harapan”.

Wacana yang acapkali mengemuka – apakah dalam bentuk tulisan di surat kabar, pidato di rapat akbar, maupun perdebatan di forum sidang – tentang masyarakat Indonesia modern banyak merujuk pada simbol-simbol tentang kejayaan masa lalu. Kesan yang segera muncul adalah seolah-olah masyarakat Indonesia modern itu – dari dahulu sampai sekarang – merupakan variabel terikat yang sangat tergantung pada kemauan bebas peradaban-peradaban besar di dunia, betapapun adanya faktor-faktor local genius juga perlu dikaji secara teliti dan mendalam.

Di sinilah, saya kira, perlunya pemahaman bahwa Indonesia adalah negeri yang majemuk dan kompleks untuk hanya dijelaskan dengan menggunakan perspektif tunggal. Sejarah terbentuknya masyarakat Indonesia modern jelas tidak karena pengaruh dari kebudayaan yang satu dan seragam. Dennys Lombard, dalam karya magnum opus-nya Nusa Jawa Silang Budaya, menyebut tiga lapis gelombang perdaban yang turut membentuk masyarakat Indonesia modern : Hindu-Buddha, Islam, dan Barat. Anthony Reid, sejarawan terkenal Australia, menambahkan tentang pengaruh kebudayaan Cina pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia modern. Unsur-unsur kebudayaan Indonesia purba barangkali juga masih dipelihara.

Akhirnya, kalau dipikir-pikir memang benar juga. Manusia dan masyarakat Indonesia modern adalah sosok yang multi budaya. Coba kita lihat pada fenomena nama-nama Presiden Republik Indonesia modern seperti : Sukarno, Suharto, dan Susilo. Nama mereka jelas berbau “Hindu”, tapi agama mereka “Islam”, dan cara berpikir dan hidup mereka jelas adalah “Barat” alias modern. Saya belum tahu, gelombang peradaban apalagi yang bakal memberi corak pada kehidupan masyarakat Indonesia modern di masa yang akan datang. *** {Ref. : Andi Suwirta – Jabar to day}.


Ushul Fiqih : Hierarki Hukum Islam

September 14, 2011

Dalam menyelesaikan persoalan hukum, golongan ahlussunnah wal-jama’ah berpedoman kepada al-Quran dan hadits sebagai sumber utama kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas.

Empat dalil ini yang harus menjadi rujukan setiap muslim dalam mengambil sebuah keputusan hukum. Pedoman ini dipetik dari firman Alloh SWT :

 يا أيها الذين امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فان تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا

“Wahai orang-orang yang beriman patuhlah kalian kepada Alloh, dan patuhlah kalian kepada Rosul serta Ulil amri diantara kamu sekalian. Kemudian  jika kalian berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (An-nisa / QS : 4 ; 59).

Penjelasan Singkat :

يريد بهم أمراء المسلمين في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم وبعده ، ويندرج فيهم الخلفاء والقضاة وأمراء السرية . أمر الناس بطاعتهم بعدما أمرهم بالعدل تنبيهاً على أن وجوب طاعتهم ما داموا على الحق . وقيل علماء الشرع لقوله تعالى :  وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرسول وإلى أُوْلِي الامر مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الذين يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُم

Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdul Wahhab Kholaf menyatakan bahwa, Perintah untuk taat kepada Alloh dan Rosul merupakan perintah untuk mengikuti al-Quran dan hadits.

Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulil amri, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid. Sebab merekalah yang menjadi Ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslim.

Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Alloh dan Rosul berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash. (Abdul Wahhab Kholaf ; ‘Ilm Ushul).

Ketika memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan. Hierarki ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya.

Imam Saifuddin Ali bin Muhammad al-Amidiy menjelaskan dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam ; bahwa yang asal dalam dalil syar’i adalah al-Quran, sebab ia datang dari Alloh swt sebagai musyarri’. Urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Alloh dalam al-Quran. Dan setelah itu ada ijma’ selalu berpijak pada dalil al-Quran dan sunnah. yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada nash.

Dari sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada al-Quran dan hadits. Masih ada ijma’ dan qiyas yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Quran dan hadits sebagai nash (dalil utama). Wallohu a’lam. *** (Iqbal1)

Ditukil dari Kitab Sab’ah al-Kutub Mufiidah ; Ijazah kitab dari Syaikhuna KHR. Aang Ridwan, Pst. Cibeureum, Goal Para – Sukabumi.


Opini : Formalisasi Syariat, Mungkinkah?

Juli 26, 2011

Mengenai relevansi hukum Islam : Sebagaimana analisis Mahsun Fuad, relasi hukum Islam dan perubahan sosial setidaknya menghasilkan dua teori yang berbeda ;

Pertama, teori keabadian (normativitas). Dalam arti, hukum Islam tetap abadi, konstan serta tidak berubah dari zaman sebagaimana diturunkannya hukum tersebut. Oleh karenanya, ia tidak bisa diadaptasikan dengan perubahan sosial;

Kedua, teori adaptabilitas (perubahan). Bahwasanya hukum Islam bisa disesuaikan dengan perubahan sosial dan membutuhkan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan realitas sosial dan bisa merespon perubahan sosial. Perlu diketahui di sini bahwa yang dimaksud adaptabilitas bisa mengacu pada dua frame; kemungkinan perluasan hukum yang sudah ada dan keterbukaan satu kumpulan hukum bagi perubahan. 

Oleh karena itu, jika melihat klasifikasi di atas, Hizbut Tahrir dengan pandangannya hendak membawa umat Islam pada normativitas hukum Islam; hukum Islam yang diasumsikan tidak berubah sampai kapanpun. Pandangan ini tentu saja sangat lemah dari banyak sisi. Padahal tempat dan masa mempunyai andil besar dalam proses inferensi hukum (istinbath al-hukm) bagi para mujtahid.

Yusuf Qardlawi dalam kitabnya yang bertajuk al-Fatawa al-Syadzdzah mengkategorikan hukum yang tidak melihat aspek waktu, tempat serta kondisi sebagai hukum yang syadz (lawan hukum yang kuat/shahih). Oleh karena itu kita melihat mujtahid merubah hukum karena pertimbangan tempat dan waktu. Seperti Imam Syafi’i yang mempunyai Qawl Qadim (pendapat lama) yang dikeluarkan sebelum di Mesir, sedang sesudah di Mesir terkenal dengan Qawl Jadid (pendapat baru).

Tak jarang juga dalam literatur fikih, seorang imam bisa menelorkan sampai sepuluh hukum dalam satu permasalahan, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Furu’ anggitan Ibnu Muflih. Tak jarang pula terdapat perbedaan antara penganut madzhab dengan imam madzhab, seperti perbedaan Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) dan Abu Yusuf dan Muhammad (penganut Madzhab). Oleh ulama, perbedaan mereka disebut perbedaan masa dan waktu (ikhtilaf ‘ashr wa zaman).

Ibnu Abidin menganggit kitab berjudul Nasyr al-Arfi fi Bina’ Ba’dl al-Ahkam ‘ala al-Urfi. Dalam kitab tersebut disebutkan banyak sekali perubahan fatwa untuk satu kasus dalam satu madzhab. Ibnu Abidin mengatakan, “kebanyakan hukum bisa berbeda-beda menurut pertimbangan masa karena berubahnya adat suatu masyarakat, atau karena dlarurat, atau semakin rusaknya masyarakat, sehingga jika diberikan hukum sebagaimana adanya, maka akan menimbulkan kesusahan dan membahayakan bagi manusia. Dan hal ini bertentangan dengan kaidah syara’ yang didasarkan pada keringanan dan kemudahan”.

Dengan demikian, mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di masa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena. Walapun hal ini tidak berlaku dalam semua hukum, akan tetapi hukum-hukum yang didasarkan pada teks yang mempunyai cakupan makna yang multi-interpretatif (dzanny al-dalalah).

***

Bagaimanakah sebenarnya bentuk formalisasi syariat itu?. Formalisasi Syariat Islam—sebagaimana didefinisikan oleh Salim al-Awa–adalah mentransfer hukum syariat pada pasal dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Hal ini berkonsekuensi pada seorang Hakim, ketika memutuskan suatu kasus harus berdasarkan hukum tersebut. Penyeru formalisasi Syariat pertama kali adalah Abdullah Ibnu al-Muqaffa’.

Hal tersebut terlihat saat Abdullah Ibnu al-Muqaffa’ membujuk Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk memformalkan syariat Islam disebuah tulisan yang bertajuk Risalat al-Shahabat. Kemudian Abu Ja’far al-Manshur mengupayakan hal serupa—walau tak disebut taqnin (formalisasi), akan tetapi hendak mengarah ke sana—dengan meminta kitab al-Muwatha’ sebagai acuan hakim ketika memutuskan suatu perkara. Akan tetapi Imam Malik menolaknya. Abu Ja’far membujuk yang kedua kali, imam Malikpun menolak yang kedua kali. Khalifah al-Mahdi melakukan hal serupa, akan tetapi Imam Malik menolak. Begitupula Harun al-Rasyid membujuk Imam Malik, beliau tak merubah pendapatnya.

Hal itu dapat dimaklumi, sebab hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Ibnu Abdil Barri dalam kitabnya Jami’ Bayan al-Ilm mengutip tentang riwayat Umar bin Khattab yang bertemu seorang laki-laki. Kemudian ia berkata, “apa yang terjadi?” Laki-laki tersebut berkata, “Ali dan Zaid telah memutuskan seperti ini”. Kemudian Umar berkata, “jika saya yang jadi hakim, niscaya saya akan memutuskan seperti ini (berbeda dengan keputusan yang pertama)”.

Catatan sejarah mengatakan, sebagaimana dilansir Jamal al-Banna dalam tulisannya yang bertajuk Hal Yumkin Tathbiq al-Syari’ah, bahwa hukum pada pemerintahan Khalifah didasarkan pada ijtihad yang variatif serta tidak ditransfer dalam bentuk aturan baku—terkecuali masa di mana Rasul masih hidup. Hal tersebut dimulai oleh Khalifah masa dinasti Umawi, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menghendaki agar hadis Nabi dibukukan sebab dikhawatirkan akan lenyap dengan lenyapnya penghafal hadis. Abu Zur’ah menanggapi aktivitas Umar bin Abdul Aziz dengan ungkapan, “Umar bin Abdul Aziz menghendaki bahwa hukum-hukum untuk manusia dan ijtihad sebagai satu kesatuan. Kemudian berkata, “bahwasanya di setiap pelosok daerah ada shahabat Nabi. Dan di antara mereka ada hakim yang memutuskan hukum berdasar persetujuan shahabat Nabi”. Jamal juga mengatakan, sebelum Umar bin Abdul Aziz sudah ada upaya formalisasi syariat di tangan Walid bin Abdul Malik.

Dengan demikian, formalisasi Syariat Islam bukanlah perintah Allah, bukan pula anjuran Nabi.

Terakhir, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam kitabnya al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli wa al-Imam mengatakan, sunah Nabi terpetakan pada empat bagian;

pertama, aktivitas Rasul yang berkaitan dengan risalah, dengan memperhatikan bahwa beliau adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan; kedua, aktivitas Rasul dalam berfatwa. Yakni ketika menggambarkan kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu; ketiga, aktivitas beliau sebagai seorang hakim yang memberi putusan dalam kasus tertentu atau perselisihan antara dua orang; keempat, aktivitas rasul yang berkaitan dengan politik atau imamah. Hal ini mencakup semua perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana tertentu, dll.

Imam Qarrafi mengatakan, jika yang pertama dan kedua disebut Sunnah dan masuk dalam perkara agama. Sedang yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Dan karenanya, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya. ***  (Oleh : Ahmad Hadidul Fahmi, Koordinator Lakpesdam Mesir / NU-Online).


Kartini dan Perempuan dalam Islam

April 25, 2011

Oleh : Khofifah Indar Parawansa

Setiap 21 April lalu, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan yang merujuk pada lahirnya Raden Ajeng Kartini, 21 April 1879. Kartini hidup pada zaman ketika kekuatan budaya masyarakat sangat permisif memandang perempuan. Kartini berani berteriak lantang. Ia berusaha mendobrak kekakuan sehingga lahirlah mainstream paradigma baru terhadap perempuan di Indonesia. Namanya pun hingga kini terus dikenang sebagai bukti perhargaan bangsa Indonesia terhadap perjuangannya.

Kisah perjuangan Kartini ini mengingatkan penulis pada kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim AS. Hajar adalah wanita tabah dan ikhlas menerima semua ujian yang Allah berikan. Keikhlasannya menjadi sumber kekuatan dalam berjuang.

Kala itu, Ismail masih menyusu. Mereka hidup di lembah yang tandus. Suatu hari, perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan, Siti Hajar lalu mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari dari Safa ke Marwah demi anak yang merupakan amanah Allah SWT. (Lihat surah Ibrahim ayat 37). Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih (zamzam). Hingga kini, kisah Hajar diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai rangkaian ibadah haji dan umrah (sa’i).

Pengabadian Hajar menjadi bukti otentik bahwa Islam sangat menghargai perempuan. Hal ini tentu menjadi inspirasi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk lebih menghargai perempuan, seperti Islam menghargai perjuangan dan keikhlasan Hajar dalam memperjuangkan keselamatan hidup anaknya, Ismail.

Jika dicermati, masih banyak produk hukum di Indonesia yang diskriminatif dan bias gender. Perempuan sering mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual, diskriminasi, dan perlakuan sewenang-wenang di dalam keluarga, tempat kerja, dan lainnya. Akibatnya, tak hanya perempuan, anak-anak juga sering menjadi korban.

Dalam menghadapi situasi ini, ada tiga ikhtiar yang perlu dilakukan :

Pertama, aspek hukum, dengan meletakkan sistem perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM bagi perempuan dan anak-anak dalam seluruh aspek kehidupan dan perlindungan hak anak dan anak perempuan dari eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan. Untuk itu, perlu penataan sistem hukum nasional yang berperspektif gender.

Kedua, aspek kesadaran kolektif masyarakat, yaitu dengan menggugah dan membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan sosialisasi dan penerapan UU No 7 / 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Ketiga, aspek aksi dan penyiapan prasarana perlindungan korban, yaitu dengan melakukan program aksi nasional penghapusan segala tindak kekerasan terhadap perempuan dan pembentukan pusat rehabilitasi keluarga bagi perempuan dan anak perempuan korban tindak kekerasan dan eksploitasi seksual.

Kegiatan ini diharapkan dapat didukung sepenuhnya oleh masyarakat secara sukarela untuk menyiapkan sarana-prasarananya. Keberhasilan program ini membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk juga LSM, perguruan tinggi, dan ormas. *** (Republika)


Pembaruan Pendidikan Islam

April 25, 2011
Oleh: Azyumardi Azra
 
Sejak Peristiwa –11 September 2001- di WTC New York dan markas Pentagon Washington DC, pendidikan Islam menjadi sorotan banyak kalangan Barat. Pendidikan Islam, khususnya madrasah seperti di Afghanistan, Pakistan, dan Yaman, misalnya, mereka curigai sebagai tempat persemaian radikalisme dan ‘Talibanisme’ yang berujung pada terorisme.

Bagaimana lembaga, para pemangku kepentingan, dan pemerintah negara-negara Muslim merespons perkembangan tersebut? Apakah tekanan dalam dan luar negeri itu mendorong perubahan dan pembaruan pendidikan Islam?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi topik pembicaraan dalam Konferensi ‘Reforms in Islamic Education’ yang diselenggarakan Pusat Kajian Islam Universitas Cambridge dan Universitas Edinburgh Inggris 9-10 April 2011. Konferensi menghadirkan pembahasan tentang berbagai aspek pendidikan Islam, baik di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Mesir, ataupun minoritas Muslim di Inggris, Jerman, Swiss, Belanda, Bosnis-Hercegovina, Swedia, Amerika Serikat, dan Kanada.

Pendidikan Islam jelas tidak seragam di berbagai kawasan dunia tersebut; dan sejarah pembaruan dalam pendidikan Islam sangatlah panjang. Sebagian besar lembaga pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim mengalami pembaruan jauh sebelum terjadinya ketegangan antara Barat dan dunia Muslim. Tujuan pembaruan tidak lain agar membuat peserta didik dan lulusan pendidikan Islam dapat memiliki pandangan dunia keislaman yang kuat dan pada saat yang sama siap menghadapi tantangan dunia modern dengan ilmu dan keahlian.

Di banyak kawasan Timur Tengah, pendidikan Islam sepenuhnya dinasionalisasikan ke dalam sistem pendidikan umum sejak awal 1960-an. Pendidikan formal umum sepenuhnya berada di bawah kontrol negara. Dengan begitu, tidak ada lagi sistem dan kelembagaan yang secara khusus dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Jika ada lembaga pendidikan Islam; itu hanya dalam bentuk lembaga pendidikan ‘non-formal’ semacam kuttab yang menjadi tempat anak-anak untuk belajar membaca Alquran.
 
Sementara itu, di Pakistan dan Afghanistan, pendidikan Islam-khususnya madrasah-tetap berada di luar sistem pendidikan nasional dengan ideologi dan kurikulumnya sendiri. Usaha negara mereformasi madrasah tidak pernah berhasil, sehingga ia tetap sepenuhnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama sesuai ideologi para pemilik dan pengasuhnya. Karena itulah, madrasah semacam ini sangat rentan menjadi tempat bagi sektarianisme keagamaan yang kian sulit terselesaikan.

Pada saat yang sama, pendidikan Islam yang terus tumbuh di banyak negara Barat sejak di Eropa dan Amerika Utara berjuang untuk mendapat pengakuan negara sehingga para lulusannya dapat melanjutkan mobilitas pendidikan mereka. Untuk itu, mereka harus mengadopsi kurikulum dan standar pendidikan negara Barat setempat. Jika memenuhi syarat, lembaga pendidikan Islam tersebut bisa mendapat biaya sepenuhnya atau setidaknya subsidi dari pemerintah bersangkutan seperti berlaku di Inggris dan Belanda.

Sedangkan di Indonesia pendidikan Islam terintegrasi ke dalam arus utama pendidikan nasional-menciptakan dua sistem paralel, di mana pendidikan Islam berjalan sejajar dengan pendidikan umum. Sistem paralel ini membuat pendidikan Islam setara dengan pendidikan umum, yang memungkinkan terjadinya mobilitas pendidikan lebih luas bagi para peserta didiknya. Bahkan, lembaga pendidikan Islam formal ini juga dilengkapi dengan lembaga pendidikan nonformal di luar waktu sekolah semacam diniyah; memperkuat penanaman nilai-nilai Islam kepada generasi muda Muslim.

Bagi saya yang berbicara dalam panel dengan Tariq Ramadan, guru besar di Universitas Oxford dan Michael S Merry, guru besar Universitas Amsterdam yang banyak meneliti pendidikan Islam di Eropa dan Amerika Utara, pendidikan Islam Indonesia lebih menjanjikan dibanding negara-negara lain, bahkan di dunia Arab sekalipun. Sistem pendidikan Islam Indonesia bahkan bisa disebut sebagai terbesar di seluruh dunia sejak dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Cakupan substansi dan kurikulumnya hampir mencakup seluruh bidang ilmu keislaman, baik yang bersumber dari ayat-ayat Qur’aniyyah maupun ayat-ayat kauniyah.

Tidak kurang pentingnya lebih dari 70 persen lembaga pendidikan Islam tersebut berada di tangan komunitas dan yayasan umat Islam sendiri. Sisanya ada di tangan pemerintah. Ini menunjukkan ‘independensi’ umat baik dalam pendanaan dan penyelenggaran pendidikan Islam-meski banyak juga lembaga pendidikan Islam swasta ini berjalan ‘seadanya’. Tetapi pada pihak lain, peningkatan kemampuan ekonomi umat, juga telah memungkinkan munculnya madrasah, sekolah Islam, pesantren, dan perguruan tinggi Islam swasta yang bermutu kian baik. Dengan begitu, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini kian membaik pula citranya-dan bahkan tidak jarang menjadi simbol status sosial. *** (Republika)


Aqidah : Mengetahui Fitnah Dunia, Wajib Hukumnya

April 20, 2011

Seiring perkembangan zaman, agama Islam mengalami banyak perkembangan di berbagai bidangnya, mulai dari muamalah sampai implementasi aqidah. Namun haruslah diyakini bahwa sesungguhnya nikmat memeluk agama Islam adalah nikmat yang tidak bisa dibandingkan dengan hal apapun yang ada di dunia ini. Walaupun tidak bisa dianggap sepele dan dipandang sebelah mata nikmat-nikmat yang Allah berikan yang sangat besar dan beragam. Apalagi menganggap memeluk Islam menjadi hal lumrah dan biasa-biasa saja. Islam adalah nikmat yang paling besar diantara semua nikmat.

Islam yang diutus pula bersamanya Nabi Muhammad SAW yang tiada lain adalah suatu nikmat pula yang tiada tara. Karena jika dilirik dari ‘alam sebab, beliaulah yang mendatangkan, mengajak dan  menerangkan agama Islam ini (Ali ‘Imran:164). Sehingga manusia tahu mana salah dan jalan menjauhi kesalahan, serta tahu mana yang benar dan jalan melaksanakan kebenaran.

Keistimewaan beliau telihat semenjak lahir. Bahkan dalam al-Barjanji dijelaskan, pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi’ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya ‘Abdullah (hamba Allah), ibuya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang bergelar ‘Abdul Muthalib bernama Syaibah (sesepuh yang bijak), yang membantu ibunya melahirkan adalah asy-Syifa’ (yang sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah as-Sa’diyah (yang lapang dada dan mujur). Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad SAW.

Al-Quran menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenal Muhammad SAW lebih dari anak-anak mereka (al-Baqarah: 146). Bahkan salah seorang penganut agama Yahudi yang kemudian memeluk Islam, ‘Abdullah bin Salaam pernah berkata, “Kami lebih kenal dan lebih yakin tentang kenabian Muhammad SAW, daripada pengenalan kami kepada anak-anak kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng”.

Akan tetapi, banyak sekali (khususnya di zaman ini) kontroversi dan fitnah besar yang menjauhkan dan memalingkan manusia dari nikmat diutusnya Nabi Muhammad SAW, sehingga terkadang mereka keluar dari agama Islam (jika muslim) dengan menabrak hukum-hukum Islam yang sudah final dan tidak bisa diutak-atik lagi. Dan atau keinginan untuk memeluk Islam menjadi lemah atau bahkan tertutup (jika non-muslim).

Lantas bagaimana caranya menghindarkan fitnah tersebut? Syekh Sholeh Fauzan bin Fauzan mewajibkan ummat untuk mengetahui fitnah dan hal-hal yang dikhawatirkan menggiring ummat jatuh ke jurang kemurtadan itu. Tak ubahnya seperti kewajiban ummat mengetahui perkara yang membatalkan keislaman. Sehingga mereka ngeuh dengan fenomena dan peristiwa yang dapat meruntuhkan aqidah.

Muhammad Syafi’, ulama madzhab Hanafi yang sekaligus menjadi mufti Pakistan menyatakan juga dalam At Tasyrih bima Tawatara fi Nuzul Al Masih, ”Ketika tidak ada nash yang menunjukkan adanya kenabian bagi seseorang setelah Rasulullah, maka orang yang mengaku nabi telah kafir menurut Al Quran, Sunnah mutawatir serta ijma’. ***(Muhammad Istiqlal Pathoni, Khodim Ponpes Khozanaturrohmah).


Ada Udang di Balik Sepakbola

April 11, 2011

Oleh : Muhammad Istiqlal P.

Kita mungkin masih ingat fenomena panggung drama sepakbola nasional akhir tahun lalu. Terkesima, tersihir, dan tersulut rasa nasionalisme begitu kita melihat perjuangan tim nasional (timnas) sepak bola di ajang Piala AFF. Nasionalisme dan kebanggaan sebagai sebuah bangsa yang selama ini hilang bak tersapu angin, kini datang lagi saat kesebelasan Garuda menjamu kesebelasan Truksmenistan dalam laga pertama kualifikasi Pra-Olimpiade 2012 di Stadion Bumi Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (23/2).

Banyak ilmuan sosial menaruh perhatian kajian mereka pada sepak bola. Michael Novak (1976), mengatakan sepak bola mirip dengan “upacara keagamaan” karena mencakup tata cara yang dianggap suci dan harus dipatuhi. Terdapat lambang-lambang seperti bendera, lagu kebangsaan, kostum, tempat “suci” yang dikhususkan bagi pemain, pelatih, penonton, batasan waktu, dan sebagainya. Sebagai ritual keagamaan, tampaknya sepak bola juga menjadi sebuah keharusan dan kebutuhan manusia, untuk memenuhi identitas diri sebagai individu, sekaligus sebagai anggota suatu komunitas (bangsa), dan sebagai salah satu unsur alam semesta (Deddy Mulyana, 2008).

Masa depan mereka sebagai bangsa bukanlah suatu yang nyata saat itu, melainkan dibangun oleh persepsi dan pikiran mereka. Pada titik ini, sepak bola menjadi sangat simbolik atau lebih tepatnya menjadi mistis yang berbeda atau bertentangan dengan parameter empiris-ilmiah. Memahami pendapat tokoh empirisme Inggris, John Locke (1632-1704), pada waktu menonton sepak bola seolah manusia tidak punya warna kecuali kecintaannya pada club yang dibelanya. Pengalaman ini secara psikologis berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Maka dari itu, sepak bola dianggap penting bagi mereka, bahkan supporter tak ayal melakukan tindakan pengrusakan dan anarkis jika tim mereka kalah atau dicurangi.

Televisi sebagai perantara sangat berperan aktif dalam menaruh pengaruhnya kepada khalayak, sehingga mereka dapat mendeskripsikan situasi gegap gempita di lapangan tanpa terjun langsung. Bahkan pengaruhnya sangat jelas ketika kita merasakan ada kegiatan pribadi, social, keagamaan, kuliah, bisnis, makan, bahkan aktivitas penting pejabat Negara harus ditunda atau dijadwalkan ulang. Ada kepuasan tersendiri ketika kita menonton kebolehan para pesepak bola saat menari-nari memainkan si kulit bundar di panggung hijau. Kekompakan kolektif tim juga terkadang membuat decak kagum khalayak. Bahkan tak jarang kekecwaan yang diperoleh dari lapangan mengundang tangis dan luka mendalam bagi para supporter.

Deddy juga menambahkan, peristiwa ritual tradisional juga kerap dilakukan di dalam atau di luar lingkungan fisik stadium. Kita mungkin belum lupa saat suatu ormas Islam mengadakan istighasah, memohon agar tim kebanggaan mereka bisa meraih kemenangan agar rasa nasionalisme bangsa ini bisa tetap kokoh terjaga. Makna dasarnya tetap sama, yakni aktivitas sakral yang mengaitkan para pesertanya dengan masa lalu historis mereka dengan posisi mereka di alam semesta. Bahkan sifat irasional kerap ditunjukkan, seperti kejadian Piala Dunia 2002 saat seorang warga korsel berumur 45 tahun yang membakar diri beberapa jam sebelum Korsel dan Portugal bertanding. Ia meninggalkan catatan kepada pecinta sepak bola Korsel : “Keringat dan air mata Gus Hiddink, teriakan gembira para pendukung, kegembiraan dalam kemenangan pertama, semuanya adalah hadiah ulang tahun terbaik bagi saya.”

Sepak bola juga menjadi ajang kampanye politik para kandidat atau partai yang tengah berupaya meraih hati publik. Fenomena ini terjadi lumrah di berbagai Negara. Sebagai contoh, mantan presiden AS George Waker Bush, kanselir Jerman Gerhard Schroeder yang rela bangun pagi dan mengatur ulang jadwalnya untuk menghadiri laga tim negaranya demi mendapatkan simpati publik.

Terlepas dari intrik politik yang kini sedang memanas di dalam tubuh PSSI, anak-anak muda berseragam merah putih ini mampu membuat gegap gempita anak-anak bangsa. Mereka mengajarkan banyak hal kepada kita. Pertama, arti penting nasionalisme. Kedua, kebanggaan sebagai bangsa muncul. Ketiga, mereka mengajarkan arti penting kerja keras tanpa lelah, tanpa pamrih. Keempat, kerjasama utuh telah mereka buktikan sebagai jalan terbaik untuk mencapai tujuan. Sulit dibayangkan jika tim ini tercerai-berai, sudah pasti tidak akan mampu melahirkan hasil terbaik, walaupun hasil akhir yang diperoleh masih belum memenuhi target. (***)


Opini : Menimbang Sistem Pendidikan Pondok

Maret 22, 2011

Dewasa ini, pemerintah Indonesia tengah gencar sekali mencari dan mencoba sistem pendidikan yang komprehensif. Kebutuhan akan sistem yang demikian itu semakin terasa lebih mendesak lagi oleh tekanan masalah penduduk. Ledakan penduduk berusia muda yang mencari lapangan kerja, arus urbanisasi masyarakat pedesaan yang kian deras menyerbu kota-kota besar, sementara daerah urban belum siap menciptakan pusat-pusat produksi dan industri yang mampu menyerap gelombang angkatan kerja, sementara keluhan tentang krisis nilai-nilai yang mengancam kepribadian bangsa makin sering terdengar.

Tidak-lah bisa dipungkiri bahwa perkembangan masyarakat menghendaki adanya pembinaan anak didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan, serta kemampuan komunikasi dan kesadaran akan ekologi lingkungannya.

Menyadari kompleksnya hal tersebut, ada baiknya pemerintah lebih memperhatikan dan mengembangkan sistem pendidikan yang dimiliki oleh pesantren.

Sebagaimana termaktub dalam undang-undang yang ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989, bahwa Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan melalui undang-undang berupa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989. Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.

Akan tetapi pelbagai alternaif jalur pendidikan ini belum memberikan kontribusi yang besar dalam merubah wajah, sikap dan mental anak didik yang berakhlak. Hal ini terbukti dengan makin maraknya peristiwa-peristiwa yang membuat geleng-geleng kepala dan menimbulkan pertanyaan, di manakah mentalitas dan nilai pendidikan mereka selama ini?.

Agama Islam mengatur bukan saja amalan-amalan peribadatan vertikal, melainkan juga kelakuan orang dalam berinteraksi dengan sesama dan dunianya. Sebagaimana yang diungkapkan Suyoto (Pesantren dan pembaharuan: 61), bahwa pesantren pada mulanya lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang dipergunakan untuk pergerakan penyebaran agama. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, gerakan lembaga ini berkembang dengan gerakan-gerakan sosial. Sehingga dapat diakui, pengaruhnya tidak saja terlihat pada santri (baca: murid) dan alumninya, bahkan meliputi kehidupan masyarakat sekitarnya.

Fakta saat ini mengatakan, orang hanya terangsang dan merasa terpanggil terhadap persoalan-persoalan yang secara langsung berakibat pada kepentingannya atau kelompoknya. Di sini-lah makin terasa perlunya pengembangan paradigma dan amaliah secara lebih luas dan menyeluruh. Pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada sekarang-lah yang mempunyai potensi untuk tujuan pendidikan tersebut.

Pondok pesantren khususnya, sebagai lembaga pendidikan yang berbasis ilmu dan amal mungkin bisa dijadikan pegangan guru-guru dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan.

Kemampuan pondok bukan saja dalam pembinaan pribadi, tetapi bagi usaha mengadakan perubahan dan perbaikan sosial dan kemasyarakatan. Ki Hajar Dewantara mencita-citakan sistem pondok, dan pernah pula melaksanakannya. Beliau menyatakan bahwa sistem ini adalah sistem pendidikan nasional. Bahkan sistem ini ada sejak Republik Indonesia belum bersatu. Pondok pesantren mempunyai fungsi pemeliharaan, pengembangan, penyiaran, dan pelestarian Islam. Dari segi kemasyarakatan ia menjalankan pemeliharaan dan pendidikan mental. Melalui sistem pondok, konsepsi perilaku dasar manusia yang menurut Sigmund Freud terdiri dari tiga sub sistem id, ego dan superego dapat dibentuk dan diarahkan sesuai dengan mental dan tujuan pendidikan. Sehingga ciri-ciri kepribadian positif yang mendasari jiwa (ruh) manusia dapat meresap dan mengakar ke seluruh implementasi kegiatan yang dilakukannya. Kepribadian positif ini dirumuskan oleh KH. Imam Zarkasy, gontor, dengan “Panca Jiwa”, yaitu : keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, menolong diri sendiri, dan kebebasan.

Menimbang hal tersebut, dengan demikian pendidikan semacam itu tidak lagi sekedar pembinaan kepribadian individu dengan pedoman norma yang telah ditentukan, melainkan meliputi usaha merealisasikan kepentingan sosial, ekonomi dan politik.

Sikap dan pikiran seperti itu adalah keharusan dan menjadi cita-cita nasional agar setiap warga negara tidak sekedar mengetahui dan mementingkan masalah pribadi dan kelompoknya, melainkan mengetahui seluk beluk kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallohu subhaana wa ta’ala bil  a’lam *** (Oleh : Muhammad Istiqlal Pathoni).


Opini : Wanita dalam Tayangan Iklan

Februari 16, 2011

Oleh : MUHAMMAD ISTIQLAL

MEMASUKI era globalisasi media massa, banyak sekali kita jumpai berbagai fenomena yang menarik di dalamnya. Di antaranya adalah keberadaan wanita yang dinilai paling sering dimunculkan dengan segala pernak-perniknya.

Banyak produk atau jasa yang diiklankan yang notabene ditujukan bagi kaum pria, seperti mobil, motor, celana jeans, parfum, dan minyak rambut (dalam media cetak maupun elektronik) dihiasi dengan sosok wanita cantik yang berpenampilan syur dengan bagian dada dan/atau paha yang terbuka. Atau mereka diperankan sebagai kaum tradisional, menjadi ahli dapur, dan/atau kamar mandi.

Hampir 90% iklan di media menampilkan sosok wanita. Nilai mereka sebagai manusia direduksi menjadi sebatas makhluk biologis.

Wanita, pada masa kini menduduki posisi sekunder dalam jurnalistik televisi. Ashadi Siregar (1995) mengemukakan, dalam iklan komersial pandangan hegemonik pria secara otomatis akan menjadikan wanita dan daya tarik seksual mereka sebagai objek. Maka, tidak mengherankan dalam penyajian berita, feature, opini, juga dalam iklan khususnya, wanita lebih banyak tampil mendominasi kaum pria.

Tokoh pria yang muncul dalam iklan digambarkan sebagai seorang agresif, pemberani, jantan, mandiri, kuat, tegar, berkuasa, pintar, dan rasional. Namun, tokoh wanita dalam iklan sering dianggap lemah, emosional, bodoh, dan dikaitkan dengan pria untuk menyenangkan mereka.

Ironisnya, banyak di antara kaum wanita yang tidak menyadari bias iklan tersebut, bahkan menganggapnya sebagai hal yang wajar dan tidak perlu untuk diperdebatkan.

Rekonstruksi Fakta

Iklan televisi juga, lewat penayangan produk-produk untuk keperluan rumah tangga, seperti susu, deterjen, obat batuk, kopi, sabun. dan sebagainya, telah memperkukuh dan mengabadikan peran tradisonal wanita. Kita dipaksa untuk mempercayai apa yang tidak seharusnya tidak kita percayai. Tanpa mempersoalkan bias yang ada dalam iklan tersebut secara sungguh-sungguh, kita terlalu mudah menerima kebohongan-kebohongan alih-alih fakta.

Dalam kaitan masalah ini, teori agenda seting masih tetap relevan. Bahwa media memberikan agenda-agenda melaui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya (pengantar komunikasi massa, 2007: 195). Melalui iklannya televisi leluasa memperteguh pandangan, kepercayaan, sikap, dan norma-norma kaum wanita yang sudah ada. Akan tetapi, sesungguhnya mereka hanya mangsa kaum kapitalis bermodal besar. Pendek kata, kesadaran kaum wanita akan pentingnya menjadi cantik, tampak bugar, dan muda telah menguasai pikiran dan melekat erat dalam benak mereka.

Dari perspektif komunikasi, iklan yang ditampilkan media massa saat ini sebenarnya sangatlah kompleks. Setidaknya ada dua konteks komunikasi di dalamnya, yakni komunikasi antarpribadi seperti yang dilaporkan langsung oleh iklan tersebut, dan komunikasi antarmedia massa dengan khalayaknya meskipun keduanya terkait intim.

Selain dua teori komunikasi yang telah disinggung sebelumnya, berbagai teori dapat digunakan dalam menganalisis fenomena iklan yang menggunakan wanita sebagai iklannya. Mulai teori behavioristik yang menekankan efek media massa hingga teori konstruksional yang menekankan bagaimana keadaan khalayak dikonstrusikan oleh iklan-iklan yang mereka tonton di televisi.

Meskipun di beberapa stsiun TV nasional dan swasta ditayangkan acara-acara yang memunculkan dominasi wanita terhadap pria, persentasenya masih sangat kecil untuk membangkitkan rasa percaya diri mereka.

Sebagai contoh, sebuah acara yang mempertontonkan kebolehan wanita dalam ajang mencari bakat, atau film komedi yang memperlihatkan ketakutan para suami terhadap istrinya, dan sebagainya. Acara tersebut belum menunjukkan hasil yang diharapkan, yaitu membuat wanita lebih memiliki daya saing dengan lawan jenisnya dan melawan serta menghapus image kuno sebagai kaum lemah.

Kebiasaan Lama

Media kita, seperti kebiasaan besar bangsa kita. Secara tradisional gemar menyanjung dan menjilat atasan, tetapi memojokkan dan menertawakan kaum lemah. Kecemasan dalam benak timbul ketika kita melihat fenomena wanita yang seolah dipandang sebelah mata dan selalu dijajah kaum pria. Kebanyakan kaum wanita dalam iklan-iklan diperankan sebagai penghuni dapur atau kamar mandi dalam rangka membantu menjualkan produk rumah tangga yang dihasilkan sponsor iklan tersebut.

Oleh karena hal tersebut, saatnya kita berpihak kepada kaum lemah dengan menayangkan iklan yang kompetitif, inovatif, efisien, dan bersih dari pornografi serta stereotif gender.

Suatu sponsor iklan mungkin bisa mempromosikan produknya dengan menyuguhkan peluang kelompok wanita minoritas untuk maju dalam karier, misalnya menjadi direktur, menteri, atau bahkan presiden.

Tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena hal tersebut, secara teoritis, semua genre dan profesi dapat diupayakan sejajar, sama rata, dan bebas dari diskriminasi.

Wanita adalah bagian terpenting dalam kehidupan kita, sudah sepantasnya mereka dihormati, disanjung, dan dimuliakan. Seperti sabda Rasulullah SAW.,  “Wanita adalah tiangnya negara”.  Suatu negara akan dinilai baik jika wanita yang mendiaminya dipandang baik pula.  *** (Penulis, pengajar Ponpes Khozaanaturrahmah, Malangbong, Garut, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung).

Opini ini telah muat di Harian Umum Galamedia, Senin 14 Februari 2011, di kolom Opini.


Catatan : Wacana Santri Liberal

Desember 15, 2010

Gambar ini hanya ilusi sajaPENDAHULUAN

Pesantren merupakan fenomena Keislaman yang khas di Indonesia, karena pesantren mengadopsi  pola pendidikan pra-Islam yaitu Hindu dan Budha yang cukup besar pengaruhnya sebelum datangnya Islam di Nusantara.
Dalam sejarah Indonesia, Pesantren banyak memberikan kontribusi nyata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan idealisme yang bersumberkan kepada nilai-nilai Keislaman. Banyak sekali tokoh pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional yang lahir dari dunia pesantren, sebut saja K.H Hasyim Ashari, K..H Mas Mansyur, K.H Zaenal Mustafa, K.H Agus Salim dan masih banyak lagi.

Pesantren secara de facto  harus berhadapan vis a vis dengan pendidikan Barat yang sekuler. Dalam perkembangannya karena minimnya dinamisasi pendidikan pesantren, para santri menjadi golongan yang terpinggirkan dibanding para sisiwa lulusan sekolah umum yang merupakan turunan dari pendidikan sekuler.

Dalam merespon lemahnya daya saing para lulusan pesantren Nurcholis Madjid menyebutkan ada dua kelemahan fundamental dari pola pendidikan di pesantren, yaitu :
Pertama adalah karena lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Hal ini dipahami pesantren sebagai institusi pendidikan  bentukan dari improvisasi tunggal  dalam hal ini adalah para Kiyai yang biasanya adalah pendirinya atau keturunan para pendiri. Sehingga arah dan tujuan hanya hasil pemikiran para Kiyai an sich tanpa melalui proses perumusan yang didiasarkan profesionalitas.
Kedua, pesantren kurang mempunyai kemampuan dalam meresponi dan mengimbangi perkembangan zaman. Hal ini menyebabkan para keluaran pesantren tidak dapat terserap ke dalam dunia kerja karena dianggap memiliki kemampuan yang terbatas.

Dalam ranah Civil Society di Indonesia pesantren merupakan bagian inti dari pembentukan ormas Islam terbesar Indonesia yaitu, Nahdlatul Ulama (NU). Berdiri pada tahun 1926 yang merupakan  kritik atas gerakan pembaruan Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah dan Persis yang menganggap golongan pesantren tidak lagi murni karena dekat dengan unsur tahayul, bid’ah dan khurofat. Namun dalam perkembangan selanjutnya golongan pesantren yang awalnya termarjinaliasi, menjadi kekuatan dominan baik secara politik, sosial, maupun budaya. Hal ini terjadi karena jumalah kaum santri yang cukup banyak dan terebar di seluruh nusantara. Apalagi secara politik semenjak pemerintahan orde lama golongan santri NU yang selalu dihadapkan bertentangan dengan kaum abangan-lewat tipologi Geertz- akhirnya bersatu mendukung pemerintah memberangus Islam modernis yang bersatu dalam wadah Masyumi.   

Selain dianggap cenderung pragmatis dalam berpolitik, sistem pendidikan di pesantren cukup statis. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan pesantren berpusat pada Kiyai dan juga kitab-kitab Islam klasik, sehingga seakan-akan enggan menerima perubahan dari luar. Namun pandangan itu mulai redup ketika para pemikir-pemikir muda ’jebolan’ pesantren seperti Almarhum K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholis Madjid (Cak Nur) mengusung pembaruan pemikiran umat Islam yang melawan mainstream pada zamannya. Mereka mencoba merespon modernitas dan mengadopsi pemikiran liberalisme, demokrasi, pluralisme, dan juga sekularisme yang merupakan produk pemikiran Barat pasca Zaman Pencerahan (Enlightment). Sampai sekarang semakin banyak alumnus pesantren yang mengikuti jejak pemikiran mereka berdua yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan tokohnya ; Ulil Abshar Abdla, Z. Misrowi, Siti Musdah Mulia, dan lain-lain.

Santri liberal menjadi momok bagi para kaum Islam fundamentalis yang memiliki perbedaan tafsir dalam berbagi macam bidang. Kaum santri liberal mengusung persamaan hak warganegara dan perluasan tafsir lewat metode Barat seperti heumenetika yang bertentangan dengan kaidah-kaidah tafsir mainstream di Indonesia. Sehingga tak jarang golongan santri liberal ini dicap kafir atau keluar dari Islam oleh pra muslim fundamentalis termasuk Gus Dur dan juga Cak Nur.
Beberapa pemikiran mereka yang menuai kontroversi antara lain ; membolehkan nikah beda agama, menolak poligami, mendukung keberadan Ahmadiyah, dan juga menolak UU Pornografi dan pornoaksi.
Pergeseran pemikiran kaum pesantren dari pemikiran tekstual-tradisional menjadi kontekstual-modern ini sangat menarik untuk dikaji, karena sebagaimana kita ketahui bahwa peran pesantren dan juga NU begitu dominan dalam ranah pendidikan, politik, sosial, dan juga budaya. Sehingga mengetahui proses pergeseran itu dalam kajian sosiologi agama sangat bermanfaat untuk ditelaah lebih dalam.

Meinggalnya Presiden RI Ke-4 K.H Aburrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 30 Desember 2009 menjadi berita duka bagi sebagaian masyarakat Indonesia. Bukan hanya kaum pesantren dan kaum muslimin tapi juga bagi seluruh masyarakat Indonseia dri semua agama. Seakan-akan semua kontroversi yang ada di dalam pemikriannya hilang sejenak dalam masa duka tersebut. Namun setelah beberapa hari meninggalnya Gus Dur, kontroversi itu mulai merebak terutama mengenai pluralisme Agama. Karena Gus Dur dianggap tokoh pejuang pluralisme agama yang mencoba membangun hubungan baik antar semua agama dalam bingkai Pancasila dan UUD. Para tokoh Islam liberal yang berlatar belakang dari pesantren khususnya Z Misrowi meminta agar MUI mencabut fatwa haram pluralisme, karena beberapa tahun yang lalu MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap liberlisme, sekularisme dan plularisme dalam Islam.

Kasus di atas merupakan fenomena ’gunung es’ dari arus besar pergeseran pemikiran kaum santri dalam merespon modernitas. Gus Dur adalah pelopor modernisasi pemikiran Islam yang mengandung pemikiran liberal, sekuler, dan juga plural. Kasus ini adalah fenomena yang relatif baru bagi kaum pesantren dan warga Nahdliyin, karena tokoh pesantren cenderung memunculkan gagasan-gagasan konvensional yang berpusat kepada tradisi, Kiayi, dan juga kitab kuning. Hal ini disebabkan para tokoh pesantren yang berlajar di luar negeri baik di Barat maupun di Timur Tengah mulai bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Marxis lama maupun kontemporer dan juga pemikiran kaum liberal dari Barat. Selain itu Univeritas Islam di tingkat nasional difasilitasi oleh negeri-negeri Barat untuk program-program penyebaran ajaran Islam yang moderat sebagai konter atas berkembanganya  paham fundamental.

Bagi umat muslim di tanah air hal ini menjadi kontroversi yang tidak berkesudahan, apalagi sebagian kelompok menjastifikasi sesat dan menyesatkan bagi golongan pembaharu ini dengan segala dalil yang ada dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Dalam analisis berikut ini kami tidak akan menilai mana golongan yang benar ataupun salah. Tulisan ini hanya membahas bagaimana proses pembentukan golongan baru dalam dunia pesantren yaitu ; santri liberal. Yaitu golongan yang mulai mengadopsi pemikiran Barat khususnya dalam bidang tafsir yang berasal dari pesantren.       

ANALISIS SOSIOLOGI AGAMA

Dialektika Berger : determinisme Agen-Struktur

Sebagai seorang fenomenolog yang mencoba mengambil berbagai metode dari berbagai paradigma dalam sosiologi, Berger membuat konstruksi relasi antara individu dan masyarakat yang menjadi perdebatan sengit diantara paradigma fakta sosial dan paradigma definisi sosial. Sehingga Ia melakukan terobosan dengan pemikirannya tersebut menurut Berger terdiri dari tiga langkah yaitu ; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi merupakan bentuk reaksi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai manusia yang memiliki kekurangan secara instingtif, manusia mencoba menaklukan lingkungannya baik yang fisik maupun sosial. Oleh karena itulah manusia membuat ‘dunia manusia’ yaitu usaha-usaha penyesuain lewat penciptaan berbagai stuktur-struktur sosial yang mendukung visi-visi manusia. Di fase eksternalisasi inilah Berger menyebut : masyarakat adalah bentukan manusia.
Objektivasi merupakan kondisi objektif masyarakat sebagai sesuatu yang berada di luar manusia. Stuktur-struktur sosial berhadap vis a vis dengan manusia dan melakukan proses dialektika. Dalam artian saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Berger dalam fase objektivasi masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialektis.
Internalisasi merupakan penetrasi stuktur-struktur sosial sebagai sesuatu yang ‘di luar’ manusia untuk mempengaruhi sikap individu-individu. Kesadaran subjektif manusia mencoba menyerap makna-makna yang terdapat dalam struktur-srtuktur sosial tersebut. Sehingga struktur sosial dianggap sesuatu yang mapan bahkan sakral dan melingkupi setiap aktiitas keseharian manusia. Pada Fase internalisasi menurut Berger, manusia adalah bentuk masyarakat.

Skema Pembaharuan Pemikiran Kaum Santri

Dari analisis Berger mengenai proses pembentukan masyarakat, kita dapat menggunakanya pada tataran makro, meso maupun mikro. Dalam hal ini analisis Berger kita gunakan pada unit masyarakat pesantren.
Pada dialektika awal pembentukan pesantren, tentunya para da’i dari luar nusantara termasuk para wali. Dengan mengadopsi pola pendidikan pra Islam mereka membentuk kultur pendidikan yang mudah diterima oleh mayarakat yang baru mengenal Islam. Para penggagas pesantren memutuskan menginternalisasi pesanteran yang identik dengan tradisi pra Islam, Kiyai, kitab kuning, dan doktrin ahlussunah wal jamaah. Sehingga pada suatu saat pesantren dengan segala konsepsinya menjadi  objektivasi yang akan membentuk pesantren serta masyarakat sekitarnya dan menjadi standar bagi pembentukan pesantren di tempat dan waktu yang lain. Proses dialektika itu dalam waktu yang lama dan akan mengalami kemapanan.
Pada waktu yang lain beberapa tokoh pesantren dari generasi yang berbeda merespon keterhimpitan pesantren terhadap arus modernisasi yang seakan-akan tidak dapat bersatu dengan dunia pesantren yang tradisional. Para tokoh pembaharu ini mendapat masukan dari berbagai macam pemikiran filsafat Barat, pengalaman mengunjungi negara Barat dan Timur Tengah serta tentunya kondisi objektif umat Indonesia yang semakin terpuruk. Mereka memunculkan pembaharuan dalam pola pendidikan pesantren yang lebih mau ’menyapa’ dengan dunia modern khususnya di bidang kurikulum pesantren itu sendiri. Selain dalam ranah pendidikan, para pembaharu mulai mentransfer pemikiran mengenai demokrasi, kesetaraan gender, tafsir hermenutika, HAM, dan lain-lain. Sehingga ide pembaharuan ini menjadi objektivasi yang pada dielektika berikutnya akan mungkin menjadi pilar-pilar masyarakat baru, khususnya masyarakat pesantren dan Nahdliyin. Namun ide-ide pembaharuan itu masih pada tingkat objektifikasi, karena masih banyak pro dan kontra terhadap pemikiran pembaharuan tersebut.

KESIMPULAN

Sehingga dalam perjalanan dilektika pembentukan pesantren, santri liberal adalah agen pendobrak struktur yang bukan hanya berwujud tradisi ritual saja tetapi juga sampai pada ide/gagasan pembaruan penafsiran terhadap ajaran agama. Ide pembaharuan itu berdasarkan pengalaman empiris sang pembaharu, kondisi objektif suatu masyarakat, dan juga pergumulan intelektual dengn para sarjana Barat dan Timur.
Dalam kerangka dialektika Berger, revolusi pemikiran adalah hal wajar. Karena pemikiran yang baru itu setelah melalui proses objektivasi dan eksternalisasi akan menjadi proses yang mapan dan akan dikritik oleh pemikiran yang lain untuk mengoreksi permasalahan yang berkembang. Wallohu ‘alam. *** (by Anggoro Yudho Mahendro – Ketum Korkom UNJ)

Daftar Pustaka :
Berger, Peter L. (tt). Sacred Canopy.
Madjid, Nurcholis. (1997). Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta : Paramadina
Noer, Deliar. (1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES
Saleh, Fauzan. (2001). Teologi Pembaruan : Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Bandung : Mizan.

Ref. : http://www.hmiunj.org


Wacana : Mengenal Civic Education

Oktober 15, 2010

Dalam buku Belajar Civic Education dari Amerika, dijelaskan bahwa Civic Education adalah pendidikan untuk mengembangkan dan memperkuat dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri ; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain. Yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warganegara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya.

Dalam demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai (Benjamin Barber, 1992)

Tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, maupun nasional. Hasilnya adalah dalam masyarakat demokratis kemungkinan mengadakan perubahan sosial akan selalu ada, jika warga negaranya mempunyai pengetahuan, kemampuan dan kemauan untuk mewujudkannya. Partisipasi warga negara dalam masyarakat demokratis, harus didasarkan pada pengetahuan, refleksi kritis dan pemahaman serta penerimaan akan hak-hak dan tanggung jawab. Partisipasi semacam itu memerlukan (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) pengembangan karakter atau sikap mental tertentu, dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prisip fundamental demokrasi.

Dalam civic education juga didalamnya mengembangkan tiga komponen utama : pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak-watak kewarganegaraan (civic dispositions).

Civic Education memberdayakan warganegara untuk dapat membuat pilihan yang bijak dan penuh dengan kesadaran dari berbagai alternatif yang ditawarkan, memberikan pengalaman-pengalaman dan pemahaman yang dapat memupuk berkembangnya komitmen yang benar terhadap nilai-nilai dan prinsip yang memberdayakan sebuah masyarakat bebas untuk tetap bertahan.

Civic Education bukan hanya meningkatkan partisipasi warga negara, tetapi juga menanamkan partisipasi yang berkompeten dan bertanggungjawab dan kompeten harus didasarkan pada perenungan (refleksi), pengetahuan dan tanggung jawab moral.

Ace Suryadi mengatakan bahwa Civic Education menekankan pada empat hal :

Pertama, Civic Education bukan sebagai Indoktrinasi politik, Civic Education sebaiknya tidak menjadi alat indoktrinasi politik dari pemerintahan yang berkuasa. Civic Education seharusnya menjadi bidang kajian kewarganegaraan serta disiplin lainnya yang berkaitan secara langung dengan proses pengembangan warga negara yang demokratis sebagai pelaku-pelaku pembangunan bangsa yang bertanggung jawab.

Kedua, Civic Education mengembangkan state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi. Civic education memusatkan perhatian pada pembentukan kecerdasan (civic intelligence), tanggung jawab (civic responbility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Demokrasi dikembangkan melalui perluasan wawasan, pengembangan kemampuan analisis serta kepekaan sosial bagi warga negara agar mereka ikut memecahkan permasalahan lingkungan. Kecakapan analitis itu juga diperlukan dalam kaitan dengan sistem politik, kenegaraan, dan peraturan perundang-undangan agar pemecahan masalah yang mereka lakukan adalah realistis.

Ketiga, Civic Education adalah suatu proses pencerdasan, pendekatan mengajar yang selama ini seperti menuangkan air kedalam gelas (watering down) seharusnya diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dengan menekankan pada latihan penggunaan nalar dan logika. Civic education membelajarkan siswa memiliki kepekaan sosial dan memahami permasalahan yang terjadi dilingkungan secara cerdas. Dari proses itu siswa dapat juga diharapkan memiliki kecakapan atau kecerdasan rasional, emosional, sosial dan spiritual yang tinggi dalam pemecahan permasalahan sosial dalam masyarakat. Keempat, Civic Education sebagai lab demokrasi, sikap dan perilaku demokratis perlu berkembang bukan melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), akan tetapi melalui penerapan cara hidup berdemokrasi (doing democracy) sebagai modus pembelajaran. Melalui penerapan demokrasi, siswa diharapkan akan seceptnya memahami bahwa demokrasi itu penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam hal ini civic education lebih dipentingkan karena menekankan pada :

Pertama, Civic Education tidak hanya sekadar melayani kebutuhan-kebutuhan warga dalam memahami masalah-masalah sosial politik yang terjadi , tetapi lebih dari itu. Ia pun memberikan informasi dan wawasan tentang berbagai hal menyangkut cara-cara penyelesaian masalah . dalam kontek ini, civic education juga menjanjikan civic knowledge yang tidak saja menawarka solusi alternatif, tetapi juga sangat terbuka dengan kritik (kontruktif). Kedua, Civic education dirasakan sebagai sebuah kebutuhan mendesak karena merupakan sebuah proses yang mempersiapkan partisipasi rakyat untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis.

Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan kan peran warga dalam masyarakat demokratis.

Guna membangun masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan agar warganya dapat mengkritisi dan memahami permasalahan yang ada. Dengan demikian civic education akan menghasilkan suatu pendidikan yang demokratis dengan melahirkan generasi masa depan yang cerdas, terbuka, mandiri dan demokratis.

Sehingga diharapkan civic education dapat memberikan nilai-nilai demokrasi dengan tujuan : Pertama, Dapat memberikan sebuah gambaran mengenai hak dan kewajiban warga negara sebagai bagian dari integral suatu bangsa dalam upaya mendukung terealisasinya proses transisi menuju demokrasi, dengan mengembangkan wacana demokrasi, penegakan HAM dan civil society dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, Menjadikan warga negara yang baik (good citizen) menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengedepankan semangat demokrasi keadaban, egaliter serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Ketiga, Meningkatkan daya kritis masyarakat sipil. Keempat, Menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat sipil secara aktif dalam setipa kegiatan yang menunjang demokratisasi, penegakan HAM dan perwujudan civil society. *** (Jabar Media Net)


Opini : Metode Memahami Kitab Kuning

Juli 23, 2010
Term kitab kuning bukan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akdemisi lebih populer dengan sebutan turats.

Turats secara harfiah berarti sesuatu yang ditinggalkan/ diwariskan. Di dunia pemikiran Islam, turats digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turats yang berarti khazanah tradisional Islam merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.

Sejarah mencatat bahwa para pembuat kitab kuning/ turats dalam memainkan perannya di panggung pergulatan pemikiran Islam tak pernah sepi dari polemik dan hal-hal yang berbau kontradiktif. Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murji’ah, Rafidhah, dan Ahlu al Sunnah yang direkam secara rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad al Baghdadi (w. 429/1037) dalam karyanya al Farqu bain al Firaq. Dalam buku tersebut tergambar dengan jelas kemajemukan pemahaman agama terlebih masalah akidah. Setelah melakukan pencarian dan kajian yang mendalam para tokoh aliran masing-masing menemukan konklusi yang berbeda-beda.

Pada kurun berikutnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali (w.505 H) berhasil mengguncang dunia filsafat melalui bukunya yang bejudul Tahafut al Falasifah. Dengan sangat rasional beliau mengungkap kerancuan pemikiran para filosof terutama pemikiran al Farabi dan Ibnu Sina. Namun kritikan tajam dari Ghazali terhadap para filosof ini mendapatkan serangan balik dari Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 595 H) melalui Tahafut al Tahafut. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, Ghazali dinilai kurang tepat dalam menguak sisi fatalitas pemikiran para filosof karena Ghazali pada dasarnya hanya bersandar pada dua pemikiran yakni al Farabi dan Ibnu Sina, bukan pada akarnya, yakni filsafat Yunani. Dalam hal, ini Ibnu Rusyd adalah sosok yang melakukan apologi (pembelaan) sekaligus purifikasi (pemurnian) filsafat Aristoteles yang tercemar dan terkaburkan oleh pendapat Ibnu Sina. Bahkan Ibnu Rusyd berusaha untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dan agama.

Silang pendapat juga tumbuh subur di ranah hukum Islam (fikih). Gesekan-gesekan banyak terjadi pada pentolan dan pendiri madzhab seperti Syafi’i, Maliki dan imam-imam yang lain. Dalam tubuh sebuah madzhab juga kerap terjadi benturan ide sebagaimana yang ada dalam kubu Syafi’iyah seperti al Nawawi dengan al Rafi’i. Namun perlu diingat bahwa perbedaan bukan berarti permusuhan. Beragam pendapat yang muncul disikapi oleh para pemikir klasik dengan penuh kedewasaan sehingga dengan perbedaan justru benar-benar membawa rahmat.

Berbicara soal ilmu pengetahuan, ada baiknya kita tengok kembali gagasan Ghazali dalam al Mustashfa fi ’Ilm al Ushul -buku tentang teori hukum Islam (ushul fikih). Dalam prolog (khutbah al kitab) buku tersebut, Hujjatul Islam memetakan ilmu menjadi tiga macam.

Pertama, ilmu rasional murni (’aqli mahdh) seperti matematika (al hisab), arsitektur (al handasah) dan astrologi (al nujum). Agama tidak menganjurkan untuk mempelajari ilmu jenis ini. Ilmu ini sebagian mengandung kebenaran dan sebagian yang lain hanyalah spekulasi yang tak berdasar. Dalam kacamata Ghazali, ilmu ini tidak berguna karena hanya terkait erat dengan kehidupan dunia yang fana. Ilmu bisa dikatakan bermanfaat bukanlah ilmu yang hanya berorientasi pada kenikmatan dan kegemilangan masa depan, melainkan diukur dengan kemampuannya mengantarkan kepada kebahagian akhirat yang abadi.

Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli mahdh). Contoh ilmu ini adalah ilmu hadis, tafsir dan yang sejenis. Ilmu hadis dan tafsir diperoleh dari sahabat, tabi’in dan orang-orang zaman dahulu. Untuk mengkaji ilmu jenis ini sangat mudah sebab orang muda dan tua dapat menguasai dengan gampang asalkan memiliki daya ingat yang tajam (quwwat al hifdzi), sementara rasio tidak begitu berperan di bidang ini.

Dalam perspektif Ghazali, pembagian ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang ketiga. Ilmu ketiga merupakan upaya mensinergikan antara akal dan nukil, antara penalaran dan periwayatan. Ilmu fikih dan ushul fikih merupakan cakupan dari bagian ilmu yang ketiga, sebab porsi akal dan wahyu bekerja bersama-sama di dalamnya. Karena dalam ilmu ushul fikih dan fikih terkandung dua unsur sekaligus, maka ilmu ini mempunyai nilai plus bila dibandingkan ilmu hadis, tafsir dan lainnya.
Pengarang buku Ihya’ Ulumuddin ini menambahkan argumen bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taklid semata yang menjadi ciri khas ilmu naqli begitu pula tidak bersandar pada akal murni. Upaya peniruan secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara berpegang pada akal semata tidak dibenarkan agama. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu yang paling unggul adalah ilmu yang berdiri ditengah-tengah antara akal dan wahyu.

Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari tiga pemetaan ilmu yang telah dilakukan oleh Ghazali dan sepenggal sejarah perjalanan intelektual dari masa ke masa.

Dari sana, penulis ingin menawarkan metode baru dalam memahami kitab kuning.

1. Pengkaji kitab kuning tidak hanya berhenti pemahaman hukum-hukum hasil karya ulama terdahulu, tetapi melacak metodologi penggalian hukumnya. Hal ini sebagaimana tawaran al Ghazali bahwa ilmu yang paling baik adalah penggabungan antara aqli dan naqli, antara menerima hasil pemikiran ulama’ salaf sekaligus mengetahui dalil dan penalarannya.

2. Membiasakan untuk bersikap kritis dan teliti terhadap objek kajian. Karena pada dasarnya budaya kritis adalah hal yang lumrah dalam dunia intelektual. Sebagaimana telah kita saksikan potret kehidupan ulama’ salaf yang sarat dengan nuansa konflik dan polemik. Hal itu terjadi, tak lain hanyalah karena ketelitian, kejelian dan kritisisme yang dimiliki oleh para pendahulu kita yang kesemuanya patut untuk kita teladani.

3. Melakukan analisa yang mendalam, apakah pendapat ulama itu benar-benar murni refleksi atas teks (nash) atau ada faktor lain yang mempengaruhi. Sekedar contoh, kenapa sampai ada qoul qodim dan qoul jadid, kenapa Imam Nawawi berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i dalam transaksi jual beli tanpa sighat (bai’al mu’athoh), kenapa Imam Qoffal berani berbeda pendapat dalam memahami sabilillah yang berarti setiap jalan kebaikan (sabil al khair) dapat menerima zakat sedangkan mayoritas ulama tidak memperbolehkan.

4. Menelusuri sebab terjadinya perbedaan pendapat, sejarah kodifikasi kitab kuning, latar belakang pendidikan pengarang, keadaan sosial dan budaya yang mempengaruhinya. Memahami faktor dan tujuan pengarang mengemukakan pendapatnya.

5. Pengkaji harus menjaga jarak antara dirinya (selaku subyek) dan materi kajian (selaku obyek). Dengan prinsip ini, peneliti tidak boleh membuat penilaian apapun terhadap materi dan melepaskan dari fanatisme yang berlebihan. Dalam tahap ini peneliti harus berusaha ”menelanjangi” aspek kultural, sosial dan historis dimana suatu hukum dicetuskan. Benar-benar memahami latar belakang suatu hukum yang telah dirumuskan ulama’ salaf. Hal ini dimaksudkan agar terjadi penilaian dan pemahaman yang obyektif.

Langkah terakhir adalah pengkaji menghubungkan antara dirinya dengan obyek kajian. Langkah ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan mengukur relevansi kitab kuning dengan konteks kekinian. Pengkaji dalam hal ini dituntut untuk menjadikan kitab kuning sebagai sesuatu yang cocok untuk diterapkan, sesuai dengan kondisi saat ini dan bersifat ke-Indonesiaan. Senantiasa berpegang pada prinsip bahwa syariat Islam diciptakan demi tegaknya kemaslahatan sosial pada masa kini dan masa depan.

Di samping langkah-langkah di atas, pemerhati kajian kitab kuning hendaknya membekali dengan ilmu penunjang yakni logika (mantiq). Ilmu anggitan Aristoteles ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian, padahal ilmu tersebut dapat mempertajam rasionalitas dan menumbuhkan daya nalar yang kreatif. Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm dan ulama salaf lainnya adalah pakar filsafat Islam disamping menguasai ilmu-ilmu keIslaman.

Kitab kuning merupakan hasil kerja keras para sarjana Islam klasik yang menyimpan segudang jawaban atas permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, disisi lain kita adalah generasi yang hidup di ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya problematika modern. Upaya yang dilakukan para pemikir bebas dalam merespon pernak-pernik modernitas sembari meninggalkan khazanah tradisional Islam tak lain hanyalah kecongkakan intelektual. Namun serta merta menjadikan kitab kuning sebagai pedoman yang ’sepenuhnya laku’ adalah tindakan yang kurang bijaksana, karena hanya al Quran dan hadis-lah yang bersifat universal.

Kita ini ibarat anak saudagar kaya yang diwarisi ratusan perusahaan besar oleh bapaknya. Akan tetapi apabila kita tidak mampu memperbaharui sistem, meingkatkan produktifitas, kreatif dalam merespons dinamika zaman, lambat laun produk perusahaan tidak laku dan tidak menarik konsumen. Akhir cerita perusahaan yang besar itu akan mati meninggalkan seribu kisah manis.
Dengan pendekatan-pendekatan di atas untuk memahami kitab kuning, Insya Allah kitab kuning akan senantiasa aktual, up to date dan layak pakai sepanjang masa. Dengan berbekal pendekatan tekstual dan pemahaman yang lugu justru akan menjadikan kitab kuning hanya sekedar bundelan kertas peninggalan ratusan tahun silam.

Realitas mengatakan bahwa yang berhasil menjadi pemikir-pemikir besar Islam Indonesia adalah mereka yang betul-betul mampu mengusai khazanah Islam klasik dengan baik. Tokoh seperti Sahal Mahfudz, Quraisy Syihab, Said Aqil Siraj dll adalah tokoh-tokoh yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan kitab kuning. Penulis sangat yakin bahwa orang yang mampu mengusai kitab kuning dengan sempurna adalah orang yang layak meneruskan estafet intelektual pemikiran Islam masa depan. Selamat bergumul dengan kitab kuning dan berhadapan dengan arus modernitas serta tantangan zaman.  

* Sumber : Pesantrenvirtual.com ; Ditulis oleh : Yusuf Fatawie, kelas III Tsanawiyah MHM Lirboyo Kediri.


Insert : Karakter

Mei 8, 2010

Pemimpin yang Dipercaya
Oleh : Betti Alisyahbana

Tugas pertama seorang pemimpin adalah membangun rasa percaya. Ada dua faktor yang mempengaruhi rasa percaya masyarakat terhadap pemimpinnya : karakter dan kompetensi.

Karakter mencakup integritas dan niat baik. Sementara kompetensi mencakup kemampuan, ketrampilan, kinerja, dan rekam jejak.

Ketika seorang pemimpin mempunyai semuanya -integritas, niat baik, kemampuan, keterampilan, kinerja, dan rekam jejak— maka ia akan dipercaya oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Pemimpin juga harus mempercayai timnya—bukan percaya buta tanpa ekspektasi dan akuntabilitas, melainkan percaya yang cerdas, yaitu dengan ekspektasi yang jelas dan sistem akuntabilitas yang dibangun terintegrasi ke dalam sistem organisasi. Pemimpin terbaik umumya memimpin dengan kecenderungan untuk mempercayai timnya.

Pemimpin yang baik sadar bahwa suasana saling percaya harus dibangun dan akan berpengaruh besar pada setiap hubungan, setiap komunikasi, setiap proyek, dan setiap kerja sama bisnis. Ketika saling percaya hadir, maka segalanya akan berjalan lebih cepat dan biaya pun akan lebih murah.

Suasana saling percaya perlu secara khusus dibangun, dimulai dari membuat diri kita sendiri bisa dipercaya.

Sifat-sifat baik seorang pemimpin yang akan membuatnya dipercaya antara lain adalah berbicara jujur, menghargai orang lain, membangun transparansi, memperbaiki hal-hal yang tidak benar, menghasilkan kinerja yang baik, bertanggung jawab, mendengarkan, menjaga komitmen, dan mempercai tim.

Saling percaya dalam organisasi bisa dibangun melalui struktur, sistem kerja, sistem akuntabilitas, serta insentif yang mendorong terbangunnya saling percaya. Ketika organisasi bekerja dengan kompak dan secara konsisten membangun reputasi yang baik, maka pasar pun akan percaya dan brand yang kuat pun akan terbangun.

Ketika di samping mempunyai reputasi usaha yang baik, organisasi kita pun memberikan kontribusi kepada masyarakat dengan turut memecahkan dan menjadi solusi bagi masalah-masalah nyata di masyarakat, maka organisasi kita tidak hanya dipercaya oleh para pegawai dan pasar, tetapi juga masyarakat.

Di era persaingan bebas kini, di mana persaingan terjadi semakin ketat, kecepatan dan kelincahan organisasi menjadi sangat penting. Untuk itu keterpercayaan perlu dibangun, ditumbuhkan, dan dijaga. Hanya pemimpin yang dipercaya yang bisa membangunnya.

Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana